INFO Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

# Analisis Perubahan Sikap Prabowo terhadap Korupsi: Dari Tegas Hingga Kompromistis?

# Analisis Perubahan Sikap Prabowo terhadap Korupsi: Dari Tegas Hingga Kompromistis?

Transcript dari Guru Gembul Channel

Selamat datang kembali di Guru Gembul Channel, sebuah platform yang konsisten mengupas isu-isu nasional dengan kritis dan tajam. Kali ini, kita akan membahas topik yang mungkin telah membuat banyak dari kita merasa jenuh, namun tetap relevan: sikap Presiden Prabowo Subianto terhadap isu korupsi. Sebagai warga negara yang peduli akan masa depan Indonesia, penting bagi kita untuk terus mengkritisi dan mengawal kebijakan serta tindakan pemimpin kita. Mari kita telisik bersama, apakah Prabowo benar-benar berkomitmen memberantas korupsi, atau justru terjebak dalam lingkaran koruptor?


## Awal Mula: Komitmen Tegas Prabowo


Dulu, kita mengenal Prabowo sebagai sosok militer yang tegas, berapi-api, dengan pidato-pidato yang membakar semangat. Ia dikenal vokal dalam menyuarakan komitmen untuk memberantas korupsi. Pada tahun 2019, Prabowo dengan lantang menyatakan akan mengejar koruptor hingga ke Antartika sekalipun, bahkan membentuk pasukan khusus untuk memburu mereka. Pernyataan ini diulang kembali pada 31 Agustus 2024, menegaskan bahwa jejak digital komitmennya masih terlihat jelas. 


Pada masa kampanye awalnya, Prabowo juga menjelaskan skema untuk menghadapi koruptor, menunjukkan tekad kuat untuk memerangi korupsi. Bagi banyak orang, ini adalah citra Prabowo yang idealis, seorang pemimpin yang tidak kompromi terhadap kejahatan korupsi.


## Pergeseran Sikap: Dari Tegas ke Permisif


Namun, seiring waktu, sikap Prabowo tampak berubah. Pada Desember 2024, hanya tiga bulan setelah pernyataan kerasnya, ia mulai membuka kemungkinan untuk memaafkan koruptor asalkan uang hasil korupsi dikembalikan. “Kembalikan uangnya, nanti kita maaf-maafan,” katanya. Pernyataan ini terasa lemah, jauh dari semangat awalnya yang membara.


Pergeseran sikap ini semakin nyata pada 13 Maret 2025, ketika Prabowo mengusulkan pembangunan penjara khusus untuk koruptor di pulau terpencil. Ia bahkan menyebutkan bahwa penjara ini akan dirancang agar koruptor tidak bisa kabur, dengan ancaman bertemu hiu jika mencoba melarikan diri. Ide ini, meski terdengar radikal, justru memunculkan kecurigaan. Mengapa harus menghabiskan dana besar untuk membangun penjara di tempat terpencil? Bukankah penegakan hukum yang tegas di penjara yang sudah ada lebih masuk akal?


Puncaknya, pada 6 April 2025, Prabowo menegaskan bahwa ia setuju dengan perampasan aset koruptor, tetapi hanya aset hasil korupsi yang akan diambil. “Kalau semua aset dirampas, kasihan anak dan istrinya,” ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan empati yang tidak proporsional terhadap keluarga koruptor, sementara penderitaan rakyat akibat korupsi seolah terabaikan.


## Kecurigaan: Prabowo dalam Lingkaran Koruptor?


Kronologi pernyataan-pernyataan ini menimbulkan kecurigaan bahwa Prabowo mungkin terjebak dalam lingkaran koruptor. Awalnya, komitmennya untuk memburu koruptor hingga ke ujung dunia terlihat kuat. Namun, setelah menjabat sebagai presiden, ia seolah menyadari betapa masif dan kuatnya jaringan korupsi di Indonesia, bahkan mungkin di dalam istana itu sendiri. Realitas ini tampaknya membuatnya berkompromi.


Kecurigaan ini diperkuat oleh usulan penjara di pulau terpencil. Pengalaman di penjara Sukamiskin, yang ditetapkan sebagai penjara khusus koruptor pada 2012, menunjukkan bahwa fasilitas mewah dan celah-celah rahasia memungkinkan koruptor keluar-masuk dengan bebas. Harga properti di sekitar Sukamiskin melonjak drastis, menandakan adanya aktivitas yang tidak wajar. Usulan penjara terpencil oleh Prabowo bisa jadi bukan untuk mengisolasi koruptor, melainkan untuk menjauhkan mereka dari pantauan media dan masyarakat, sehingga memungkinkan praktik serupa berlanjut tanpa pengawasan.


Selain itu, pernyataan Prabowo tentang perampasan aset yang hanya terbatas pada hasil korupsi menunjukkan pendekatan yang permisif. Jika seorang koruptor mengembalikan uang yang dicuri, mereka seolah bisa lolos dari hukuman. Ini menciptakan kesan bahwa menjadi koruptor di Indonesia “enak,” karena hukumannya hanya sebatas mengembalikan uang tanpa konsekuensi lebih lanjut.


## Prabowo dan Realitas Rakyat


Lebih memprihatinkan lagi, Prabowo tampak tidak memahami penderitaan rakyat Indonesia. Korupsi telah menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan kesulitan ekonomi yang nyata. Banyak rakyat kesulitan mendapatkan pekerjaan, perusahaan bangkrut, dan investasi kabur ke luar negeri. Namun, alih-alih berempati pada ratusan juta rakyat yang menderita, Prabowo justru menunjukkan simpati pada keluarga koruptor, menganggap perampasan aset total sebagai ketidakadilan bagi anak dan istri mereka.


Sikap ini menunjukkan bahwa Prabowo mungkin hanya mendengar bisikan dari lingkaran terdekatnya, tanpa benar-benar melihat realitas di lapangan. Ia bahkan tidak memahami istilah “buzzer,” sebuah istilah umum di kalangan masyarakat untuk menyebut pendengung media sosial. Ketidaktahuan ini menegaskan bahwa Prabowo terisolasi dari diskursus publik, hanya bergantung pada informasi dari ring terdalamnya.


## Prabowo: Pemimpin atau Wayang?


Kecenderungan Prabowo untuk berkompromi juga terlihat dari perjalanan politiknya. Setelah kalah dua kali dalam pemilihan presiden, ia memilih bergabung dengan kekuasaan alih-alih menjadi oposisi. Untuk memenangkan pemilu, ia bahkan rela “melanggar konstitusi” dengan mengusung Gibran sebagai cawapres, mengandalkan dukungan dari Presiden sebelumnya. Setelah berkuasa, ia membentuk koalisi gemuk dengan menarik sebanyak mungkin lawan politik, menambah jumlah kementerian untuk membagi-bagikan kekuasaan kepada pendukungnya.


Semua ini menunjukkan bahwa Prabowo bukanlah pemimpin yang kuat dan independen, melainkan sosok yang lemah, bergantung pada kompromi untuk mempertahankan kekuasaan. Citra militernya yang tegas dan perkasa berubah menjadi persona “gemoi” yang menari-nari demi simpati publik, terutama dari Gen Z. Dari tekad awal untuk mengejar koruptor, ia kini tampak berkompromi dengan mereka, mungkin karena menyadari bahwa jaringan korupsi terlalu kuat untuk dilawan.


## Kesimpulan: Apa yang Bisa Kita Lakukan?


Perubahan sikap Prabowo terhadap korupsi—from tegas hingga permisif—mengundang pertanyaan besar: apakah ia benar-benar berkomitmen untuk Indonesia yang bersih, atau justru terjebak dalam lingkaran koruptor? Sebagai rakyat, kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal dan mengkritisi kebijakan pemimpin kita. Korupsi adalah akar dari penderitaan rakyat Indonesia, dan kita tidak boleh tinggal diam.


Mari kita terus bersuara, memastikan bahwa penderitaan rakyat didengar oleh mereka yang berkuasa. Jika Prabowo tidak melihat realitas di lapangan, tugas kita adalah membuatnya melihat. Indonesia butuh pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyat, bukan sekadar wayang yang dikendalikan oleh kepentingan lingkaran terdekatnya.


Terima kasih telah menyimak analisis ini. Mari kita bersama-sama menjaga Indonesia tetap maju dan independen. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


0 Comments: