
Betapa Rumitnya Kolonial Belanda Mendesain Jembatan Cikacepit. Kini Mau direaktivasi Lagi, Benarkah.
1. Kunjungan Lapangan dan Pekerjaan Konstruksi Jalur Kereta Bandjar–Parigi (Jawa)
Pada hari Rabu, 27 Maret, sekitar 70 siswa jurusan teknik sipil dari K.W.S. (Koninklijke Werktuigkundige School) di Batavia berangkat bersama para pembimbing mereka dan tiga mahasiswa kursus teknik dengan kereta ekspres pukul 7 pagi menuju Banjar. Dari sana, mereka naik kereta uap ke Kaliputjang, titik akhir dari jalur Bandjar–Parigi yang sudah dibangun.
Di Kaliputjang, mereka menemukan lima gerbong Palang Merah yang telah diubah menjadi tempat tidur untuk 80 orang. Gerbong makan berfungsi sebagai dapur lapangan dan menyediakan makanan untuk semua. Fasilitas mandi terdiri dari rangka kayu yang ditutup dengan seng bergelombang; di dalamnya terdapat beberapa gerobak jungkit dari rel Decauville (rel kecil untuk mengangkut pasir dan kerikil), yang berfungsi sebagai tandon air.
Setelah malam yang cukup gelisah, mereka berangkat pukul 7 pagi dengan kereta khusus ke arah Parigi untuk mengamati bangunan-bangunan teknik yang sedang dibangun. Kereta terdiri dari tiga gerbong terbuka dengan bangku dan kursi, sehingga pemandangan terbuka bisa dinikmati sepenuhnya.
Mereka melewati tiga terowongan dan viaduk sepanjang 310 meter di atas sungai Tjipamottan, lalu tiba di jembatan yang masih dalam pembangunan di Tjipembokkongan, tempat mereka berhenti dan turun.
Dari sana, dilakukan jalan kaki menyusuri trase jalur sampai mencapai pantai selatan yang indah. Pada pukul 11 siang, mereka kembali ke jembatan Tjipembokkongan untuk menyaksikan penurunan rangka jembatan ke atas pilar dengan bantuan crane perakitan khusus (voorbouwkraan).
Dalam sebuah edaran dari Bapak J.H.A. Haarman, dijelaskan bahwa:
“Dalam merancang viaduk, diupayakan efisiensi biaya. Jalur Bandjar–Parigi bukanlah jalur yang akan memberikan keuntungan besar, sehingga pelaksanaan proyek harus hemat."
Insinyur dari biro konstruksi, J.H. Janssen, mengurungkan rencana megahnya dan memilih solusi standar berupa pilar tipe trestle, atas saran I. Wouters, kepala pembangunan saat itu.
Trestle-pijler adalah jenis pilar baja lebar dan tinggi yang bukan hanya menopang jembatan, tapi juga berfungsi sebagai jembatan pendek itu sendiri. Misalnya, di Tjipamottan, pilar memiliki panjang 12,90 meter sepanjang arah rel, dan di antaranya dipasang jembatan baja sepanjang 21,90 meter, dikenal sebagai jembatan 20 meter (karena panjang efektif).
Jenis jembatan ini adalah jembatan rangka atas (vakwerk-liggerbrug) yang dirancang oleh insinyur Wouters. Berat jembatan 20 m itu hanya 20,7 ton dengan lebar 1,5 m, sedangkan jembatan 25 m berbobot 34,8 ton dan lebarnya 3,6 m. Maka, dari segi ekonomi, jembatan 20 meter lebih unggul karena tidak memerlukan pilar selebar itu.
Desain pilar juga memperhitungkan gaya pengereman, yang menciptakan momen puntir besar jika pijakan kaki terlalu sempit. Ukuran yang dipilih ternyata memberikan solusi paling hemat biaya.
Jumlah total besi yang harus dirakit adalah 1.643 ton. Ini cukup banyak untuk membenarkan pembangunan perangkat crane khusus (voorbouwkraan).
Kraan ini memungkinkan perakitan tanpa perancah kayu dan memiliki jangkauan 35–40 meter ke depan. Crane ini juga dapat:
-
Merakit pilar besi,
-
Menempatkan jembatan 12 m dan 20 m di atasnya.
Panjang total kraan: 79,2 m. Di tengah, kraan ditopang oleh titik seimbang, yang didukung oleh empat roda, dan di bagian belakang ditopang satu as roda. Semua berjalan di rel standar SS (1.067 mm). Untuk melalui terowongan, kraan bisa dibongkar menjadi bagian 16 meter.
Setelah selesai menurunkan jembatan, mereka mengunjungi terowongan terpanjang, dan teknisi lapangan yang bertanggung jawab menjelaskan:
-
Panjang terowongan: 1.185 meter, tinggi: 4,80 meter.
-
Pekerjaan dimulai Maret 1913, selesai Agustus 1915.
-
Galian dari sisi selatan sudah 300 m dalam ketika pengeboran dari utara dimulai.
-
Kedua lubang bertemu dengan selisih arah hanya 23 cm!
-
Dinding samping tidak dilapisi bata, karena batuan dinilai tidak akan lapuk karena tak kena cahaya langsung.
-
Langit-langit (gewelf) dilapisi bata dan dilengkapi plat besi untuk mengalirkan rembesan air ke sisi.
-
Ruang evakuasi (vluchthokje) dibuat setiap 25 meter secara berselang-seling antara dua sisi dinding.
Setelah kunjungan ini, para siswa makan siang dan beristirahat di kamar tidur. Sore harinya, mereka main bola, sementara dua guru dan tiga mahasiswa teknik melakukan jalan kaki panjang.
Keesokan harinya, 29 Maret 1918, mereka berangkat pukul 06.40 pagi dan tiba kembali di Kemajoran pukul 07.45 malam (kereta ekspres terlambat). Semua sangat berterima kasih kepada Bapak Haarman atas pengaturannya.
2. Kolom Besi Cor untuk Lantai Tanpa Balok (Amerika Serikat)
Sebelumnya, telah dilaporkan (No. 7 dan No. 14, 1917) soal lantai tanpa balok (flat slabs) yang menggunakan kolom beton berbentuk jamur di Amerika. Desain ini sangat disukai karena:
-
Distribusi cahaya dalam ruangan jauh lebih baik.
-
Ketinggian lantai bisa dimanfaatkan sepenuhnya (karena tidak ada balok menggantung).
Namun, kolom beton tersebut terlalu besar, mengurangi area efektif lantai dan menghalangi cahaya.
Solusi baru oleh insinyur W.J. Knight di St. Louis:
Mengganti kolom beton dengan kolom besi cor berongga yang lebih ramping.
Rincian teknis:
-
Sebuah bangunan pabrik telah selesai dibangun dengan metode ini, tanpa masalah teknis.
-
Salah satu lantainya berukuran 58 x 22 meter.
-
Jarak antara kolom-kolom bervariasi (hingga 5,64 x 4,57 meter, diagonal 7,60 m).
-
Pelat lantai setebal 200 mm, diperkuat tulangan melintang dan diagonal.
-
Pelat ini bertumpu pada kap beton berbentuk kerucut setinggi 356 mm, di atas flens atas kolom berdiameter 560 mm yang diperkuat dengan 8 rusuk.
-
Kaki kolom berbentuk persegi 510 x 510 mm, juga diperkuat rusuk, dan berdiri di atas pelat pondasi beton bertulang.
Beban perhitungan:
-
Beban bergerak: 150 kg/m²
-
Beban tetap: 150 kg/m²
Ketika pengecoran dilakukan, kolom besi yang berongga diisi beton secara bersamaan.
Meskipun hanya sebagian kecil pelat bertumpu pada tiap kolom, dan ada ketakutan akan tekuk akibat beban tak merata, tidak ditemukan masalah setelah 6 bulan penggunaan, bahkan saat lantai digunakan untuk mesin berat dan pemindahan barang.
Para pekerja sangat menyukai sistem ini karena:
-
Ruang gerak lebih bebas
-
Pencahayaan jauh lebih baik
-
Jauh lebih unggul dibanding bangunan lama (yang bahkan baru berusia 2 tahun!), yang masih menggunakan kolom beton tebal.
Kalau kamu ingin, saya bisa bantu buat ilustrasi skema pilar trestle atau kolom besi cor ini. Mau dicoba?
0 Comments: