Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Hari Film Nasional 30 Maret 2019, Selamat!

30 Maret dijadikan Hari Film Nasional karena saat itu tepat hari pertama pengambilan gambar film yang diproduksi pribumi dengan sutradara Umar Ismail.
Peringatan Hari Film Nasional


Sejarah Film Nasional Indonesia

Jika anda pecinta film, khususnya film nasional, mungkin banyak yang belum tahu bahwa di Indonesia, setiap tanggal 30 Maret yang jatuh hari ini, Jumat, dipringati sebagai Hari Film Nasional. Setiap tahunnya Indonesia memperingati Hari Film Nasional (HFN). Bukan tanpa alasan, hal tersebut mencerminkan perkembangan film di Indonesia. Hari Film Nasional pertamakali ditetapkan sutradara Indonesia, Usmar Ismail yang berhasil memproduksi sebuah film berjudul Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi melalui perusahan film miliknya sendiri, Perfini pada 30 Maret 1950.

Tanggal itu kemudian dipilih oleh Dewan Film Nasional sebagai HFN. Film karya Usmar Ismail tersebut dijadikan penanda bangkitnya industri perfilman Indonesia karena menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit Indonesia dan keluarga mereka dari Jogjakarta ke pangkalan utama mereka di Jawa Barat.

Perfilman Indonesia sebenarnya bukan baru dimulai tahun 1950. Di bawah penjajahan Belanda, produksi film di tanah air sudah mulai jalan. Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Perjalanan panjang itu dipimpin oleh Kapten Sudarto, yang menjadi tokoh utama dalam film. Kapten Sudarto diceritakan bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai seorang manusia yang rawan membuat kesalahan. Dalam perjalanannya, dia kemudian dipertemukan oleh seorang pengungsi perempuan berdarah Indo-Belanda, dan sang komandan pun menaruh hati padanya meski dia telah beristri. Film berakhir ketika Indonesia berdaulat di tahun 1950.

Meski bergenre drama-romansa, film itu sukses menggambarkan ideologi yang dimiliki orang-orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka. Oleh karenanya, Darah dan Doa dianggap film pertama yang mencerminkan ciri khas Indonesia dan pantas menjadi titik bangkitnya perfilman tanah air.
Seiring berjalannya waktu, film Indonesia pun mulai meniti kesuksesan pada tahun 1980an saat industri film nasional pada masa itu melahirkan bintang-bintang berbakat seperti Lidya Kandouw, Meriam Bellina, Ongky Alexander dan lainnya.
Hanya saja kesuksesan itu menurun drastis pada dekade berikutnya. Perfilman Indonesia ibarat mati suri seiring pesatnya pertumbuhan tontonan televisi dan masuknya film Hollywood. Namun, pada tahun 2000-an, film Indonesia kembali bangkit melalui film-film AADC (Ada Apa Dengan Cinta), Petualangan Sherina, dan beberapa lainnya.
Kini, seiring tahun, film Indonesia semakin berkembang dengan ragam cerita yang kreatif dan inovatif. Tak monoton, Indonesia boleh berbangga ketika film-film seperti The Raid atau Laskar Pelangi menjadi raja di tanah sendiri, bahkan hingga penonton dari luar negeri.
Bahkan baru-baru ini, Film Indonesia ramai keluar-masuk festival film Internasional dengan film Athirah, Turah, dan Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak.
Kesuksesan ini bukanlah tanpa sandungan, maka pada tanggal 30 Maret ini kita diingatkan dengan kisah panjang sejarah terbentuknya perfilman tanah air yang penuh usaha dan perjuangan.
Golongan "kiri" sempat secara terang-terangan menolak tanggal 30 Maret sebagai hari perfilman Indonesia. Pada 30 April 1964, mereka mendirikan PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Amerika Serikat) dan menuntut agar tanggal tersebut lah yang dijadikan Hari Perfilman Nasional.

Mereka juga menganggap film Darah dan Doa tidak layak dijadikan pelopor film nasional karena karya Usmar Ismail dianggap kontra-revolusioner. Protes ini berlanjut hingga tahun 1966 ketika peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) menghentikan suara dan segala aktivitas golongan ini.
Kesuksesan ini bukanlah tanpa sandungan, maka pada tanggal 30 Maret ini kita diingatkan dengan kisah panjang sejarah terbentuknya perfilman tanah air yang penuh usaha dan perjuangan.

tags:
Film Nasional, Sejarah Film Nasional, Hari Film Nasional 

Post a Comment

2 Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete