Masjidku dari Kandang Ayam
Penulis : Sawin Mediawan (pernah kuliah di IAID Ciamis)
Awalnya masjid dimana tempat aku mengaji begitu bagus, rapi, bersih dengan warna hijau dan biru telur asin. Aku masih berumur sekitar 10 tahun, setiap kali aku adzan adan seorang nenek yang memberiku roti. Karena imbalan itulah aku mulai tertarik untuk adzan dan adzan lagi di masjid itu. Setiap sore hari jelang maghrib aku berangkat ngaji. Waktu itu belumlah ada listrik, penerangan yang ada hanya menggunakan lampu minyak di kampungku lampu minyak tersebut dikenal dengan nama patromax, sangat terang. Namun saat spertusnya habis, gelap gulitalah masjid ku. Riuh gemuruh hanya terdengar suara, dan tak terlihat di mata.
Nurul Hikmah itulah nama masjidku, lokasinya persis banget dengan sungai kecil yang berasal dari Cilebok (cilebok adalah kawasan lumpur yang dipenuhi tanaman nipah). Sungai kecil tersebut langsung terhubung dengan Sungai yang menuju muara yaitu Sungai Cileutik. Karena dekatnya dengan sungai itulah aku dan puluhan teman santri yang lainnya setiap sore menjelang maghrib, menghabiskan waktu dengan bermain air.
Sebatang kayu dari pohon kelapa menjadi jembatan penghubung, itu membuat kami terlatih dengan keseimbangan berjalan di atas air hanya dengan sebatang pohon. Namun keisengan dari teman-teman terkadang membuatku harus pulang dulu ke rumah karena tercebur ke sungai yang dangakal itu. Jadi begini ceritanya.
"Debleng... ki debleng... ayo nyebrang buruan" olok mereka kepadaku. Namaku bukan Debleng tapi ya begitu kadang-kadang teman-teman lebih suka menggunakan nama olokan Debleng kepadaku. Akupun nyebrang ke atas sebatang pohon kelapa itu, namun saat aku sudah sampai di tengah-tengah eh malah teman-temanku itu jail. Pohon yang sudah rapuh itu digoyang-goyang sampai patah. Aku yang berada di atasnya tak bisa lari kemana lagi, kecuali harus ikut tercebur kedalam sungai.
"Hei... teman-teman jangan gitu dong, ini aku mau nyebrang." kataku. "Walah kamu rasain, jadi jangan coba-coba kamu melawan ke orang yang lebih senior ya! Rasakan ini balasanya untuk kau..." kata Zati.
"Bruukkk. prak... brakkkk" pohon kelapa yang sudah agak lapuk itu jatuh ke air bersama denganku, dan akupun jadi basah kuyup.
BERSAMBUNG
"Debleng... ki debleng... ayo nyebrang buruan" olok mereka kepadaku. Namaku bukan Debleng tapi ya begitu kadang-kadang teman-teman lebih suka menggunakan nama olokan Debleng kepadaku. Akupun nyebrang ke atas sebatang pohon kelapa itu, namun saat aku sudah sampai di tengah-tengah eh malah teman-temanku itu jail. Pohon yang sudah rapuh itu digoyang-goyang sampai patah. Aku yang berada di atasnya tak bisa lari kemana lagi, kecuali harus ikut tercebur kedalam sungai.
"Hei... teman-teman jangan gitu dong, ini aku mau nyebrang." kataku. "Walah kamu rasain, jadi jangan coba-coba kamu melawan ke orang yang lebih senior ya! Rasakan ini balasanya untuk kau..." kata Zati.
"Bruukkk. prak... brakkkk" pohon kelapa yang sudah agak lapuk itu jatuh ke air bersama denganku, dan akupun jadi basah kuyup.
BERSAMBUNG
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete